"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk jannah (surga),
padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu
sebelum kamu? mereka ditimpa malapateka dan kesengsaraan, serta digoncangkan
(dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya
berkata: 'Bilakah datangnya pertolongan Allah.' Ingatlah sesungguhnya
pertolongan Allah amat dekat." (Al-Baqarah: 214).
Khabbab bin Arat ra, berteriak lantang: "Memang, ia (Muhammad)
adalah utusan Allah kepada kita, untuk membebaskan dari kegelapan menuju terang
benderang." Sebuah deklarasi keimanan justru saat dakwah Rasulullah baru pada
fase sirriyah dan lemah. Pernyataan itu diperdengarkan di depan segerombol kafir
Quraisy. Kontan, mereka murka mendengarnya. Khabbab, si pandai besi itu sadar
akan resiko yang ia hadapi. Tak ayal, mereka memukuli dan menyiksanya. Ia
terhuyung tak sadarkan diri. Tubuhnya bengkak-bengkak. Seluruh tulang
persendiannya terasa nyeri. Darah mengalir membasahi pakaian dan tubuhnya.
Ini bukan akhir Khabbab menuai siksaan. Onggokan besi, bahan
baku pedang, di rumahnya menjadi senjata makan tuan. Kafir Quroisy mengubahnya
menjadi alat siksa yang mengerikan. Mereka masukkan besi ke dalam api hingga
merah membara. Dililitkannya besi menyala itu pada kedua tangan dan kaki
Khabbab. Sakit tiada terkira. Namun, semua itu tak menjadikan ia bergeming dari
keimanan.
Derita Khabbab belum usai. Ummi Anmar, bekas majikannya, turun
tangan. Wanita jalang itu menyiksa dan menderanya. Ia mengambil besi panas yang
menyala dan meletakkannya di ubun-ubun Khabbab. Ia menggeliat kesakitan. Nafas
tetap ditahan agar tak keluar keluhan, karena keluhan hanya akan menjadikan para
algojo bersorak-sorak.
Sampai suatu ketika Khabbab datang menghadap Rasulullah saw di
bawah naungan Ka'bah. "Wahai Rasulullah! tidakkah Anda memohonkan pertolongan
bagi kami? Usul Khabbab. Rasulullah duduk, raut mukanya memerah seraya bersabda:
"Dahulu sebelum kalian, ada orang disiksa dengan dikubur hidup-hidup. Ada yang
kepalanya digergaji menjadi dua bagian. Ada pula yang kepalanya disisir dengan
sikat besi hingga kulit kepalanya terkelupas. Tetapi siksaan-siksaan itu tidak
memalingkan mereka dari agamanya. Demi Allah, Allah pasti akan mengakhiri
persoalan ini, sehingga orang berani berjalan dari Shan'a ke Hadramaut tanpa
rasa takut kepada siapa pun selain Allah, walaupun srigala ada di antara hewan
gembalaannya, tetapi kalian tampak terburu-buru."
Itulah sepenggal episode kehidupan Khabbab r.a. Pada awal
dakwah Islam, penyiksaan bahkan dialami oleh Rasulullah saw sendiri beserta para
sahabat yang lain. Mungkin kita bertanya, mengapa Rasulullah saw dan para
sahabatnya harus merasakan penyiksaan, sedangkan mereka berada pada pihak yang
benar? Mengapa pula Allah Ta'ala tidak melindungi mereka, padahal mereka adalah
tentara-tentara Allah, bahkan kekasih-Nya berada ditengah-tengah mereka?
Manusia dicipta bukan tanpa tujuan. Allah bermaksud mencipta
manusia untuk beribadah kepada-Nya. "Dan tidaklah aku ciptakan jin dan
manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku." (Adz-Dzariyat: 56).
Beribadah itulah tujuan utama penciptaan manusia.
Sifat dasar ubudiyah adalah taklif (beban). Dalam Islam, orang
yang akil baligh biasa disebut mukallaf, artinya, orang yang dibebani. Dengan
demikian ubudiyah mengharuskan adanya taklif, sedang taklif menuntut adanya
kesiapan menanggung beban dan perlawanan terhadap hawa nafsu dan syahwat. Taklif
tersebut, tersimpul dalam kalimat laailaaha illallah, yang bermakna tidak
ada ilah yang berhak diibadahi selain hanya Allah. Meski kalimat tersebut
singkat, namun ia bermakna padat. Ia mengandungi totalitas penetapan
(itsbat) atas obyek peribadatan, meliputi tujuan (qasd), niat,
pengagungan (ta'dhim), pengharapan (raja'), dan takut
(khauf) hanya tertuju kepada Allah semata. Kalimat tersebut juga
mengandungi totalitas pengingkaran (nafyu) atas obyek peribadatan kepada
selain Allah yang meliputi sesembahan yang diyakini dapat mendatangkan manfaat
dan madharat (aalihah), makhluk yang rela diibadahi, diikuti, dan ditaati
(taghut), fatwa atau jalan hidup yang menyelisihi Islam (arbaab),
dan segala yang dapat memalingkan manusia dari Allah, seperti harta, tempat
tinggal, dan keluarga (andaad).
Dengan demikian, berislam memang (seharusnya) menumbuhkan sikap
revolusioner. Konsekuensi berislam, adalah tuntutan memenuhi segala perintah
Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, baik menyangkut ubudiyah mahdlah
atau ghairu mahdlah. Juga, ubudiyah harus murni hanya kepada Allah. Dus,
harus menolak beribadah kepada selain-Nya, baik dari golongan jin maupun
manusia. Hal ini tentu membawa potensi ancaman yang beragam, terutama dari
unsur-unsur yang diingkari untuk diibadahi, baik dari golongan jin maupun
manusia. Di sinilah maksud taklif menuntut adanya kesiapan menanggung beban dan
perlawanan.
Jadi, memang sejak semula manusia diciptakan untuk siap
menanggung beban, ujian, dan cobaan. Karena jannah yang dijanjikan Allah
tidaklah gratis, melainkan harus ditebus dengan berislam, lengkap dengan segala
konsekuensi yang harus dipenuhi dan resiko yang harus dihadapi.
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk jannah (surga),
padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu
sebelum kamu? mereka ditimpa malapateka dan kesengsaraan, serta digoncangkan
(dengan berbagai cobaan) sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya
berkata: 'Bilakan datangnya pertolongan Allah.' Ingatlah sesungguhnya
pertolongan Allah amat dekat." (Al-Baqarah: 214).
Lantas apa maksud Allah? bukankah bagi-Nya segala sesuatu mudah
jika mengendaki? hanya dengan kalimat kun fayakun(Jadilah! maka akan
terjadi), termasuk mudah bagi Allah jika Dia menghendaki Islam tegak di muka
bumi, juga mudah bagi-Nya jika mengendaki seluruh manusia memeluk Islam...?
Sengaja Allah tidak membuat semuanya berjalan mulus, Dia
bermaksud menguji hamba-hambanya hingga dapat dibuktikan siapa yang mukmin dan
siapa yang munafik, siapa yang jujur dan siapa yang dusta? Berislam secara lisan
belaka, tanpa ada konsekuensi-konsekuensi tertentu, tentu akan sulit membedakan
antara yang sungguh-sungguh dengan yang berpura-pura. Di sinilan relevansi
mekanisme ujian dan cobaan bagi seorang hamba.
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja
mengatakan: 'Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi?' Sungguh Kami
telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui
orang-orang yang benar, dan sungguh Allah mengetahui orang-orang yang dusta."
(Al-Ankabut: 2--3).
Wallahu a'lam.