Di kampung miskin di kota Ghazzah (orang Barat menyebutnya Gaza ) di bumi
Palestina, pada th. 150 H (bertepatan dengan th. 694 M) lahirlah seorang bayi
lelaki dari pasangan suami istri yang berbahagia, Idris bin Abbas Asy-Syafi`ie
dengan seorang wanita dari suku Azad. Bayi lelaki keturunan Quraisy ini akhirnya
dinamai Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie . Demikian nama lengkapnya sang bayi
itu. Namun kebahagiaan keluarga miskin ini dengan kelahiran bayi tersebut
tidaklah berlangsung lama. Karena beberapa saat setelah kelahiran itu,
terjadilah peristiwa menyedihkan, yaitu ayah sang bayi meninggal dunia dalam
usia yang masih muda. Bayi lelaki yang rupawan itu pun akhirnya hidup sebagai
anak yatim.
Sang ibu sangat menyayangi bayinya, sehingga anak yatim Quraisy itu tumbuh sebagai bayi yang sehat. Maka ketika ia telah berusia dua tahun, dibawalah oleh ibunya ke Makkah untuk tinggal di tengah keluarga ayahnya di kampung Bani Mutthalib. Karena anak yatim ini, dari sisi nasab ayahnya, berasal dari keturunan seorang Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang bernama Syafi’ bin As-Sa’ib. Dan As-Sa’ib ayahnya Syafi’, sempat tertawan dalam perang Badr sebagai seorang musyrik kemudian As-Sa’ib menebus dirinya dengan uang jaminan untuk mendapatkan status pembebasan dari tawanan Muslimin. Dan setelah dia dibebaskan, iapun masuk Islam di tangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Maka nasab bayi yatim ini secara lengkap adalah sebagai berikut:
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid
bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab
bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin
Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin
Adnan.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris
Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh
Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’.
Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim
tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris
Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan
Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim,
adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani
Mutthalib, maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam
bersabda:
“Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66).
“Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66).
Di lingkungan Bani Al-Mutthalib, dia tumbuh menjadi anak lelaki yang penuh vitalitas. Di usia kanak-kanaknya, dia sibuk dengan latihan memanah sehingga di kalangan teman sebayanya, dia amat jitu memanah. Bahkan dari sepuluh anak panah yang dilemparkannya, sepuluh yang kena sasaran, sehingga dia terkenal sebagai anak muda yang ahli memanah.
Demikian terus kesibukannya dalam panah memanah sehingga ada seorang ahli
kedokteran medis waktu itu yang menasehatinya. Dokter itu menyatakan kepadanya:
“Bila engkau terus menerus demikian, maka sangat dikuatirkan akan terkena
penyakit luka pada paru-parumu karena engkau terlalu banyak berdiri di bawah
panas terik mata hari.” Maka mulailah anak yatim ini mengurangi kegiatan panah
memanah dan mengisi waktu dengan belajar bahasa Arab dan menekuni bait-bait
sya’ir Arab sehingga dalam sekejab, anak muda dari Quraisy ini menjadi tokoh
dalam bahasa Arab dan sya’irnya dalam usia kanak-kanak. Di samping itu dia juga
menghafal Al-Qur’an, sehingga pada usia tujuh tahun telah menghafal di luar
kepala Al-Qur’an keseluruhannya.
Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga
belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba
ilmu dari Sufyan bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki,
Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia
pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di
berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.
Ia pun demi kehausan ilmu, akhirnya berangkat dari Makkah menuju Al-Madinah
An Nabawiyah guna belajar di halaqah Imam Malik bin Anas di sana. Di majelis
beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab
karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya
membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat
terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin
Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang
terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah,
niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut
kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka
Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab
Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan:
“Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab
Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak
membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah
pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang
paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin
Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari
para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin
Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Beliau banyak pula menghafal
ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang
disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki
pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada
taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini
telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat
beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam
berbagai periwayatan ilmu.
Ketika Muhammad bin Idris As-Syafi’i Al-Mutthalibi Al-Qurasyi telah berusia dua puluh tahun, dia sudah memiliki kedudukan yang tinggi di kalangan Ulama’ di jamannya dalam berfatwa dan berbagai ilmu yang berkisar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi beliau tidak mau berpuas diri dengan ilmu yang dicapainya. Maka beliaupun berangkat menuju negeri Yaman demi menyerap ilmu dari para Ulama’nya.
Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti:
Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya.
Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq
dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang
ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah
dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sejak di kota Baghdad, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie mulai dikerumuni para muridnya dan mulai menulis berbagai keterangan agama. Juga beliau mulai membantah beberapa keterangan para Imam ahli fiqih, dalam rangka mengikuti sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Kitab fiqih dan Ushul Fiqih pun mulai ditulisnya. Popularitas beliau di dunia Islam yang semakin luas menyebabkan banyak orang semakin kagum dengan ilmunya sehingga orang pun berbondong-bondong mendatangi majelis ilmu beliau untuk menimba ilmu. Tersebutlah tokoh-tokoh ilmu agama ini yang mendatangi majelis beliau untuk menimba ilmu padanya seperti Abu Bakr Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi (beliau ini adalah salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari), Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam, Ahmad bin Hanbal (yang kemudian terkenal dengan nama Imam Hanbali), Sulaiman bin Dawud Al-Hasyimi, Abu Ya’qub Yusuf Al-Buaithi, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi, Harmalah bin Yahya, Musa bin Abil Jarud Al-Makki, Abdul Aziz bin Yahya Al-Kinani Al-Makki (pengarang kitab Al-Haidah ), Husain bin Ali Al-Karabisi (beliau ini sempat di tahdzir oleh Imam Ahmad karena berpendapat bahwa lafadh orang yang membaca Al-Qur’an adalah makhluq), Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hizami, Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani, Ahmad bin Muhammad Al-Azraqi, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh ilmu yang lainnya. Dari murid-murid beliau di Baghdad, yang paling terkenal sangat mengagumi beliau adalah Imam Ahmad bin Hanbal atau terkenal dengan gelar Imam Hanbali.
Di samping Imam Hanbali yang sangat mengaguminya, juga diriwayatkan oleh
Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikh nya dengan sanadnya
dari Abu Tsaur. Dia menceritakan: “Abdurrahman bin Mahdi pernah menulis surat
kepada As-Syafi`ie, dan waktu itu As-Syafi`ie masih muda belia. Dalam surat itu
Abdurrahman meminta kepadanya untuk menuliskan untuknya sebuah kitab yang
terdapat padanya makna-makna Al Qur’an, dan juga mengumpulkan berbagai macam
tingkatan hadits, keterangan tentang kedudukan ijma’ (kesepakatan Ulama’)
sebagai hujjah / dalil, keterangan hukum yang nasikh (yakni hukum yang menghapus
hukum lainnya) dan hukum yang mansukh (yakni hukum yang telah dihapus oleh hukum
yang lainnya), baik yang ada di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Maka
As-Syafi`ie muda menuliskan untuknya kitab Ar-Risalah
dan kemudian dikirimkan kepada Abdurrahman bin Mahdi.
Begitu membaca kitab Ar-Risalah ini, Abdurrahman
menjadi sangat kagum dan sangat senang kepada As-Syafi`ie sehingga beliau
menyatakan: “Setiap aku shalat, aku selalu mendoakan As-Syafi`ie.” Kitab
Ar-Risalah karya Imam Syafi`ie akhirnya menjadi kitab
rujukan utama bagi para Ulama’ dalam ilmu Ushul Fiqih sampai hari ini. Pujian
para Ulama’ dan kekaguman mereka bukan saja datang dari orang-orang yang
seangkatan dengan beliau dalam ilmu, akan tetapi datang pula pujian itu dari
para Ulama’ yang menjadi guru beliau.
Imam As-Syafi`ie tinggal di Baghdad hanya dua tahun. Setelah itu beliau pindah ke Mesir dan tinggal di sana sampai beliau wafat pada th. 204 H dan usia beliau ketika wafat 54 th. Beliau telah meninggalkan warisan yang tak ternilai, yaitu ilmu yang beliau tulis di kitab Ar-Risalah dalam ilmu Ushul Fiqih. Di samping itu beliau juga menulis kitab Musnad As-Syafi`ie , berupa kumpulan hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang diriwayatkan oleh beliau; dan kitab Al-Um berupa kumpulan keterangan beliau dalam masalah fiqih. Sebagaimana Al-Um , kumpulan riwayat keterangan Imam As Syafi`ie dalam fiqih juga disusun oleh Al-Imam Al-Baihaqi dan diberi nama Ma’rifatul Aatsar was Sunan . Al-Imam Abu Nu’aim Al-Asfahani membawakan beberapa riwayat nasehat dan pernyataan Imam As-Syafi`ie dalam berbagai masalah yang menunjukkan pendirian Imam As-Syafi`ie dalam memahami agama ini. Beberapa riwayat Abu Nu’aim tersebut kami nukilkan sebagai berikut :
Imam As-Syafi`ie menyatakan: “Bila aku melihat Ahli Hadits, seakan aku melihat seorang dari Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 109)
Ini menunjukkan betapa tinggi penghargaan beliau kepada para Ahli Hadits.
Imam As-Syafi`ie menyatakan: “Sungguh seandainya seseorang itu ditimpa dengan berbagai amalan yang dilarang oleh Allah selain dosa syirik, lebih baik baginya daripada dia mempelajari ilmu kalam.” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 111)
Beliau menyatakan juga: “Seandainya manusia itu mengerti bahaya yang ada dalam Ilmu Kalam dan hawa nafsu, niscaya dia akan lari daripadanya seperti dia lari dari macan.”
Ini menunjukkan betapa anti patinya beliau terhadap Ilmu Kalam, suatu ilmu yang membahas perkara Tauhid dengan metode pembahasan ilmu filsafat.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman bahwa dia menyatakan: Aku mendengar As-Syafi`ie berkata:
“Barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir.” ((HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 113)
Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim Al-Asfahani bahwa Al-Imam As-Syafi`ie telah mengkafirkan seorang tokoh ahli Ilmu Kalam yang terkenal dengan nama Hafs Al-Fardi, karena dia menyatakan di hadapan beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. Demikian tegas Imam As-Syafi`ie dalam menilai mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Dan memang para Ulama’ Ahlis Sunnah wal Jama’ah telah sepakat untuk mengkafirkan siapa yang meyakini bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
Imam Asy-Syafi`ie menyatakan pula: “Semua hadits yang dari Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam maka itu adalah sebagai omonganku. Walaupun kalian tidak mendengarnya dariku.”
Demikian beliau memberikan patokan kepada para murid beliau, bahwa hadits shahih itu adalah dalil yang sah bagi segala pendapat dalam agama ini. Maka pendapat dari siapapun bila menyelisihi hadits yang shahih, tentu tidak akan bisa menggugurkan hadits shahih itu. Bahkan sebaliknya, pendapat yang demikianlah yang harus digugurkan dengan adanya hadits shahih yang menyelisihinya.
P e n u t u p :
Masih banyak mutiara hikmah yang
ingin kami tuangkan dalam tulisan ini dari peri hidup Imam Asy-Syafi`ie. Namun
dalam kesempatan ini, rasanya tidak cukup halaman yang tersedia untuk memuat
segala kemilau mutiara hikmah peri hidup beliau itu. Bahkan telah ditulis oleh
para Imam-Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah kitab-kitab tebal yang berisi untaian
mutiara hikmah peri hidup Imam besar ini. Seperti Al-Imam Al-Baihaqi menulis
kitab Manaqibus Syafi`ie , juga Ar-Razi menulis kitab
dengan judul yang sama. Kemudian Ibnu Abi Hatim menulis kitab berjudul
Aadaabus Syaafi’ie . Dan masih banyak lagi yang
lainnya. Itu semua menunjukkan kepada kita, betapa agungnya Imam besar ini di
mata para Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Semoga Allah Ta`ala menggabungkan kita
di barisan mereka di hari kiamat nanti. Amin ya Mujibas sa’ilin .